KEWAJIBAN TERHADAP ANAK
Didalam kehidupan berumah tangga tentunya setiap orang sangat mengharapkan kehadiran putra atau putri sebagai penerus keturunan yang dapat menolong leluhur kita untuk mencapai sorga. Seperti tersurat dalam Adiparwa Bab V yang menceritakan pertemuan Sang Jaratkaru dengan roh leluhurnya yang hamper jatuh ke neraka.
Leluhurnya berkata :
“ Nahant a hetu mami n pegat sangkeng pitraloka, magantungan petung sawulih, kangken tibeng narakaloka; tattwanikang petung sawilih, hana wangsa mami sasiki, Jaratkaru, ngaranya, ndan moksa wih taya, mahyun luputeng sarwa-janmabandhana, ta tan pastri, ya sukla brahmacari “
Artinya :
Beginilah sebabnya mengapa saya putus hubungan dengan dunia roh, kini tergantung pada sebilah bambu, hampir-hampir jatuh ke dalam neraka. Adanya sebilah bambu ini adalah bahwa saya masih mempunyai seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, (tetapi) ia berkepentingan untuk mencari moksa melepaskan diri dari ikatan hidup kemanusiaan. Ia tidak mau kawin, ia menjalankan sukla brahmacari.
Sang Jaratkaru kemudian menjawab kata-kata leluhurnya itu :
” Hana n pwa marganta muliheng swarga, tan sangsaya rahadyan sanghulun kabeh, marya nghulun brahmacarya, ametanakbi panaka ni nghulun. ”
Artinya
Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah ragu dan takut. Hamba akan berhenti menjalankan brahmacari. Hamba akan kawin dan mempunyai anak.
Demikianlah perlunya adanya keturunan (anak). Anak (putra/putri) yang baik akan menjadi cahaya keluarga. Anak putri yang berbudi sebagai kembang mekar menghiasi rumah dan anak putra (laki-laki) berbudi dan bijaksana laksana cahaya yang membawa kebahagiaan hati orang tua. Anak sebagai cahaya keluarga tersebut dimuat dalam Kitab Nitisastra IV.1 dan Kitab Slokantara Sloka 24 (52).
Nitisastra IV. 1 menyatakan :
” Bulan dan bintang-bintang di angkasa itu sebagai lampu menyinari malam. Matahari yang sedang bersinar gemilang itu merupakan lampu bersinar di seluruh bumi. Pengetahuan dan Kesusastraan, serta ajaran-ajaran suci merupakan lampu ketiga dunia ini, bersinar dengan maha sempurna. Putra yang baik, soleh, bijaksana itu memberi cahaya (kebahagiaan) pada kaum keluarga, handai, dan taulan. ”
Slokantara Sloka 24 (52) menyatakan :
” Bulan itu lampu malam, surya itu lampu dunia di siang hari, dharma adalah lampu ketiga dunia ini, dan putra yang baik itu cahaya keluarga. ”
Setelah kita dikaruniai keturunan (anak) sudah selayaknyalah kita harus merawat dan membesarkannya. Dari berita baik media cetak atau televisi sekarang ini sering kita dengan adanya penyiksaan terhadap anak, penjualan anak kandung, ataupun anak yang menderita karena salah pola asuh sehingga terjerumus dalam hal-hal yang tidak baik.
Menurut agama Hindu perlakuan terhadap anak (merupakan kewajiban orang tua) juga telah diatur agar dapat menjadi anak yang baik atau suputra. Di dalam Kitab Slokantara Sloka 22 (sloka 48 versi Lontar) dinyatakan :
“ Rajawat panca warsesu dasa warsesu dasawat,
Mitrawat sodasawarsa ityetat ptrasasanam. “
Artinya :
Sampai umur lima tahun, orang tua harus memperlakukan anaknya sebagai raja. Dalam sepuluh tahun berikutnya sebagai pelayan dan setelah umur enam belas tahun ke atas harus diperlakukan sebagai kawan.
Dalam Kitab Nitisastra IV. 20 perlakuan terhadap anak juga di uraikan sebagai berikut :
”Perlakuan kita terhadap anak ialah sampai berumur lima tahun hendaknya diperlakukan sebagai putra raja. Sampai berumur tujuh tahun dilatih supaya patuh pada perintah; berumur sepuluh tahun diajar membaca; dari umur enam belas tahun diperlakukan sebagai kawan dan harus hati-hati jika menunjukkan kesalahannya. Jika ia sendiri sudah berputra, tingkah lakunya hanya cukup pengamatan saja, dan jika memberitahu harus dengan gerak isyarat”
Tujuan diperlakukan sebagai pelayan agar menyibukkan dia supaya kenakalannya jangan diarahkan ke jalan yang tidak diinginkan. Dan juga agar sejak dini si anak belajar bertanggung jawab atas suatu pekerjaan, misalnya di beri kewajiban menyapu atau mencuci piring.
Kendala yang paling berat dalam perlakuan anak adalah ketika memasuki masa panca roba (kenakalan remaja). Jadi untuk menghindari tindakan anak yang salah karena salah perlakuan orang tua, maka hendaknya mereka diperlakukan seperti kawan dan menganggap telah dewasa sehingga cukup dengan memberitahu akibat yang bisa timbul dari tindakannya dan konsekuensinya. Dengan memberikan pengertian mereka dianggap sudah dewasa (tidak anak-anak lagi).
Mengenai menghukum anak atau memarahi anak tetap harus dilakukan dan tentunya dilakukan dengan rasa cinta kasih. Berikut petikan Nitisastra IV. 21 :
”Jangan hendaknya memanjakan anak, oh orang baik, karena mereka pasti akan berbuat dosa dan menyimpang dari jalan kebenaran. Bukankah banyak orang bijaksana yang meninggalkan anak istrinya untuk bertapa (memohon jalan kepada Tuhan dalam mendidik anak-anak). Jadi kita dapat melaksanakan hukum ketertiban dan pukulan atau pujian yang adil, pasti anak itu akan berbudi luhur dan berpengalaman. Anak yang demikian itu pasti selalu akan jadi idaman para wanita dan orang baik-baik akan mencintai dan memuji-mujinya.
Jadi sekarang terserah anda anak mau jadi apa anak kita nantinya!.
By : Kadek Antara (08-08-08)
Sumber : Kitab Slokantara.