Benarkah Roh Leluhur Bisa Diajak Bicara?
Agama Hindu menyediakan literatur yang melimpah untuk dijadikan tumpuan belajar dan panduan mempraktikkan kehidupan beragama. Ada kelompok kitab Weda yang banyak jumlahnya, kemudian di Bali sendiri masih dibantu dengan literatur dalam bentuk lontar. Nah, itu baru panduan yang tertulis saja, karena di luar itu masih ada sulinggih ataupun pemangku sebagai tempat konsultasi tentang masalah keagamaan. Jika itu pun belum cukup, maka masih ada lusinan dresta, sima atau tradisi yang telah lumrah dipraktikkan turun-temurun. Demikian banyaknya tempat untuk bertanya dan belajar, toh orang Bali (Hindu) belum merasakannya cukup. Masih ada satu sumber yang patut dan (harus) digunakan: cara gaib dengan nunas bawos alias wawancara gaib dengan pihak-pihak yang diharap. Entah dengan leluhur, betara, atau panumadian-nya (roh yang menjelma). Ya, nunas bawos atau istilah lainnya meluasang, mepeluasang, ngalih munyin pipis baas, metuunang, dan istilah lainnya.
Kebiasaan yang paling umum berlaku di masyarakat adalah metuunang roh keluarga yang baru saja meninggal. Dengan minta bantuan jro dasaran, keluarga yang anggotanya ada meninggal itu bermaksud mencari tahu keadaan roh itu di alam sana. Maka pertanyaan yang sering dilontarkan bila roh itu telah merasuki jro dasaran adalah, “subake meme (bapa—cening) maan tongos?” dan sebagai jawabannya bisa saja jro dasran berucap atas nama roh itu seperti ini, “tonden, tiang nak nu menyi, jani tiang nu ngayah di Pura Dalem dadi jurui sampat.” Kemudian yang nunasang bertanya lagi: “meme (bapa—cening dsb) lakar genanag banten, apa tagih meme?” Lantas jro dasaran menjawab, “Abenang cang pang sing nu dini meguyang, apang nyak bersih lantas maan tongos melah.” Ya, kurang lebih demikian dialog itu berlangsung sedemikian rupa. Ada kalanya jawaban itu berbunyi melarang untuk mengabenkan dirinya dan minta dikubur saja. Atau dalam kasus yang lain ada ‘sabda’ yang mengatasnamakan betara ini betara itu menuntut dibuatkan pelinggih baru. Dan sering juga petunjuk-petunjuk jro dasaran ini dipatuhi oleh masyarakat yang punya masalah, walaupun sering juga petunjuk serupa diacuhkan, karena dipandang tak sreg di hati.
Begitu juga dengan isi dari petunjuk jro dasaran itu tak selalu benar. Sudah biasa kalau banyak ucapan-ucapan itu ngawur, meskipun di lain kesempatan tak sedikit ucapan balian sonteng ini benar dan dapat menyelesaikan problema seseorang yang datang padanya.
Tradisi nunas bawos ke tempat balian sonteng adalah warisan kebudayaan animisme yang masih dipraktikkan hingga kini. Datang ke jro dasaran harus hati-hati untuk mampu membedakan pesan itu datang dari pitara, bhuta atau Betara? Inilah, mengapa menyimak isi dialog seperti ini harus cerdas dan ber-wiweka.
Tradisi nunas bawos ke tempat balian sonteng adalah warisan kebudayaan animisme yang masih dipraktikkan hingga kini. Datang ke jro dasaran harus hati-hati untuk mampu membedakan pesan itu datang dari pitara, bhuta atau Betara? Inilah, mengapa menyimak isi dialog seperti ini harus cerdas dan ber-wiweka.
Melihat kenyataan ini, berarti di Bali tidak melulu sastra sebagai guru, karena pelaku ngelmu gaib (bagaimana pun proses ngelmunya), seperti jro dasaran atau balian sonteng juga memiliki porsi sama dalam menentukan visi keagamaana umat. Hanya saja untuk menjadi sulinggih atau mangku bisa ditempuh lewat cara belajar secara metodis, namun balian sonteng, dasaran dan sejenisnya sering ‘jadi’ begitu saja tanpa proses nyata. Inilah yang menyulitkan kemudian, karena toh mereka mengklaim bekerja atas nama sesuhunan yang gaib, namun tetap saja harus bicara dalam bahasa manusia. Dan ucapan-ucapan harus dipertanggungjawabkan secara hukum positif dan hukum agama. Banyak juga ucapan bertuah dilontarkan balian, namun tak jarang ucapan menghasut dan menyesatkan terucap. Mungkin masalahnya adalah, apakah dasaran itu ngiring bhuta, ngiring bhatara atau melanjutkan pekerjaan pitara yang belum tuntas. Apakah ada orang ngiring bhuta (menyembah dan menjadi abdi bhuta—makhluk alam bawah)? Dalam benak kita, yang diasosiasikan sebagai bhuta kala adalah makhluk-makhluk assura: daitya, danawa, raksasa, pisaca, yaksa, pratikelena dan lainnya. Namun kita pun belum pasti benar siapa danawa, yaksa, pisaca itu? Sebenarnya roh-roh manusia yang mati bisa digolongkan menjadi beberapa jenis. Pertama roh yang mencapai alam kebebasan (moksa), kedua roh yang mencapai alam dewa (sorga), kemudian roh yang terikat dengan dunia, tetapi memiliki karakter baik (dewa yoni) dan roh yang berada dalam kesdaran tingkat bawah Preta yoni). Dewa yoni dan preta yoni inilah yang paling banyak berhubungan dengan manusia yang masih hidup, memberikan pawisik, paica, penampakan gaib dan sejenisnya. Makhluk dewa yoni dan preta yoni ini memiliki kualitas berbeda dan motivasi berbeda pula. Namun keduanya memiliki persamaan, yaitu memiliki kepentingan mencari pengikut (partner kerja—penyembah) di dunia nyata. Masalahnya adalah, di alam mereka sendiri juga terdapat koloni-koloni dan mereka harus dapat mempertahankan wilayahnya masing-masing. Roh-roh sakti yang berkuasa di suatu wilayah akan mencoba mengembangkan kekuasaannya dengan mencari pengiktu dan penyembah. Salah satu caranya adalah memberikan manusia paica benda gaib, memberikan kemurahan rejeki (pesugihan), memberikan manusia kesaktian dan sejenisnya. Semua pemberian itu tak ada yang cuma-cuma, tetapi terikat kontrak kerjasama yang rapi dan susah diputuskan oleh manusia.
Paica berupa benda gaib atau perjanjian gaib yang mengikat manusia itu sekaligus sebagai piagam kontrak kerjasama itu, dan sebagai imbalannya, roh-roh seperti itu pasti meminta sesuatu persembahan. Persembahan ini tentu akan datang dari pasien-pasien balian atau dasaran yang tangkil nunas tamba atau nunas bawos. Persembahan inilah yang dinikmati oleh sesuhunan. Jika sesuhunan itu dewa yoni, maka ia termotivasi untuk membantu secara murni, karena dulunya mungkin ia adalah orang baik-baik di masa hidupnya dan memiliki energi sakti. Dan karena energi saktinya inilah ia harus menuntaskan karma wasananya dengan melanjutkan menyalurkan energi yang terlanjur ia terima sebelumnya kepada manusia yang masih hidup (kekuatannya diberikan kepada balian). Umumnya, roh macam ini tak banyak permintaan, tak minta banten banyak dan persyaratan sulit buat pasien. Ujung-ujungnya pun umat akan digiring untuk tangkil ke pura-pura tertentu untuk tangkil kepada Ida Bhatara disana. Berbeda dengan roh preta yoni, yang mana motivasinya mencari pengikut adalah untuk menyuburkan kedudukannya di alam sana. Ingin memperluas dan memperekuat hegemoni. Roh seperti ini akan memberikan pawisik menyesatkan. Awalnya kelihatan benar, tetapi berikutnya akan disamarkan secara perlahan, sehingga yang mengemuka adalah kepentingannya, bukan mengatasi masalah manusia. Misalnya, kemudian minta pelinggih, minta upacara tertentu, minta dibuatkan pelinggih di pohon yang angker (kendati tidak semua yang minta pelinggih itu preta yoni, bisa juga dewa yoni).
Orang Bali bukannya tak paham akan hal ini. Takut menjadi abdi gaib dari roh yang tak jelas identitasnya, maka dalam banyak kasus kita saksikan banyak orang berusaha mati-matian untuk menolak menjadi dasaran atau balian. Mereka takut, makhluk apa yang mereka iring, siapa yang mereka jadikan tuan, dewa yoni-kah atau preta yoni? Sebab semua sesuhunan itu saat menampakkan diri kepada abdinya selalu mengaku Ratu ini ratu itu.
Karena roh-roh ini, baik dewa yoni maupun preta yoni belumlah roh yang sempurna, maka apa yang dibisikkannya kepada manusia tidak bebas dari risiko kebohongan, kesalahan, ketidakbenaran, dan lainnya. Jadi berhubungan dengan mereka ini patut dipetik manfaat positifnya saja. Karena roh-roh seperti ini adalah pasti roh tua, berasal dari mereka yang meninggal dahulu kala, mungkin juga di zaman purba atau kerajaan. Tentu ia memiliki kemampuan untuk menghubungi roh-roh yang baru meninggal, untuk memediasi berdialog dengan bekas keluarganya di alam nyata. Itulah fungsi sesuhunan dasaran atau balian sonteng. Tinggal sekarang kita perlu waspada dan menyelamatkan jalan spiritual kita. Untuk tidak terjerumus pada hasutan gaib yang tak bertanggungjawab, maka jadikan saja ajaran agama sebagai pedoman utama.
Makhluk preta yoni ini banyak bergentayangan di sekitar kita mencari ‘nasabah’ militan. Hati-hatilah pergi ke gunung, goa, pohon besar, tempat angker untuk minta kesaktian. Kesaktian dan pesugihan adalah hal yang sangat remeh dan paling murah di alam niskala yang bisa dijadikan umpan untuk menjerat leher manusia yang keburu terhanyut hayalan kemewahan dunia. Dan bagi mereka yang emoh, enggan ngiring sesuhunan yang tak jelas identitasnya, punya keraguan di hati untuk menajdi abdinya, maka segeralah berlindung kepada guru rohani. Temuilah sath guru dan kita akan dibebaskan dari risiko buruk itu. Jika pun harus ngiring, maka kita akan menjadi abdi dewa-dewa yang bertahtakan kesucian. Mohonlah petunjuk kepada leluhur di Sanggah Kemulan supaya dibukakan jalan terang.
Jadi, pergi ke balian sonteng atau jro dasaran tak ada salahnya, asalkan semua isi dialog itu disaring sesuai keyakinan dan petunjuk sastra-sastra agama. Sebenarnya yang kita cari di tempat balian sonteng bukanlah wahyu dewata, tetapi kita pinjam ‘pesawat telephone’ untuk menghubungi keluarga kita di alam lain. Ingat! Roh keluarga kita yang bisa dihubungi adalah yang dimensinya masih dekat dengan alam ini. Semakin tinggi alam yang dicapai roh bersangkutan, maka makin sulit dihubungi, apalagi roh yang sudah mampu bebas dari ikatan-katan duniawi. Namun kenyataannya, siapa saja yang hendak kita kontak lewat jro dasaran selalu bisa. Nah! Hati-hatilah dengan subjektivitas jro dasaran.
N. Putrawan – Majalah Raditya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar