PANCA BALI KRAMA
Membaca judul berita Balipost tanggal 27 Pebruari 2009 tentang larangan ngaben, dalam benak saya muncul pertanyaan " Memang sastra apa yang mendasari larangan tersebut? " karena selama ini pengetahuan saya hanya berdasarkan sastra "Mule keto". Berikut saya cuplikan berita tersebut agar dapat menjadi pencerahan kita semua.
Salah satu hal yang tak boleh dilakukan umat Hindu di Bali serangkaian Panca Bali Krama adalah ngaben atau makinsan di geni sejak 21 Februari hingga 27 April 2009. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran No: 054/MDP Bali/XI/2008. Atas dasar itu pula, sejumlah warga yang meninggal pada kurun waktu tersebut akan dilakukan prosesi penguburan pada petang hari yang salah satunya dilengkapi sarana obor. Lantas, apa yang mendasari adanya larangan melaksanakan upacara pengabenan selama rangkaian Karya Agung Panca Bali Krama tersebut?
Menurut Ketua PHDI Bali Dr. IGN Sudiana Sudiana, karya-karya agung seperti Panca Bali Krama merupakan proses penyucian alam. Karenanya, selama batas waktu tertentu dilakukan proses negtegan karya atau mapanyengker agar peristiwa-peristiwa suci bisa dipertahankan guna mendukung kesuksesan penyelenggaraan karya agung tersebut. 'Larangan melaksanakan upacara pengabenan serangkaian digelarnya karya agung itu tertuang dalam sejumlah lontar di antaranya Lontar Bhama Kertih. Jadi, larangan pengabenan itu sudah tertuang dalam sastra-sastra agama,' katanya.
Sementara itu, dosen IHDN Denpasar yang juga Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat Drs. Ketut Wiana, M.Ag. mengatakan, umat dianjurkan tidak melakukan pengabenan selama Karya Panca Bali Krama dengan maksud agar berkonsentrasi penuh pada pelaksanaan karya agung tersebut. Jadi, selama karya tersebut umat dianjurkan berkonsentrasi penuh, melaksanakan yasa kerti agar karya agung itu berjalan sukses. Sementara kegiatan upacara pitra yadnya selama karya berlangsung 'ditiadakan' untuk sementara.Ada sejumlah sastra seperti Lontar Dangdang Bang Bungalan yang mendasari hal itu. Karena itu, kata Wiana, saat nuwasen karya umat dibagikan tirta pangrapuhan atau tirta panyengker. Tirta itu dipercikkan di setra atau Pura Prajapati dengan harapan Karya Panca Bali Krama berjalan sukses tanpa ada gangguan. Tetapi sesungguhnya, kata Wiana, tirta pangrapuhan itu diyakini memiliki kekuatan yang amat tinggi. Dengan diperciki tirta itu di setra, jenazah yang dikubur sudah dianggap bersih.
Om Awignam Astu, semoga karya Panca Bali Krama berjalan dengan sukses dan Bali kembali menjadi pulau suci yang penuh kemakmuran dan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar