25/07/08

Tip Berjabat Tangan

Tip Berjabatan Tangan Yang Efektif

Berjabatan tangan sudah menjadi bagian ritual dunia usaha. Mungkin anda menganggap tidak terlalu perlu dipikirkan panjang-panjang, tetapi tidak bagi orang yang sedang berjabatan dengan anda. Sikapnya dalam berjabatan menampilkan sebagian besar kesannya terhadap anda. Ingatkah anda bagaimana kesalnya anda bila berjabatan tangan dengan orang yang memberikan jabatan amat lemah lunglai atau sebaliknya terlalu keras bersemangat.
Jangan sampai anda dikategorikan sebagai orang yang tidak mengesankan baik saat berjabatan tangan. Berikut ini ada beberapa teknik berjabatan tangan :

1. Tataplah mata lawan bicara anda saat berjabatan tangan dengannya. Tidak ada yang lebih mengacuhkan selain jabatan tangan tanpa tatapan mata. Ini menunjukan rasa tidak hormat atau tidak tertarik. Dengan menatap lawan bicara saat berjabatan, anda menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri.

2. Berjabat-tanganlah dari telapak ke telapak. Jangan berjabatan tangan dengan mempertemukan dari jari ke jari, atau telapak dengan jari. Dengan berjabatan tangan dari telapak ke telapak akan memberikan perasaan bersahabat dan tidak meninggalkan perasaan yang tidak nyaman atau terluka.

3. Jangan terlalu akrab. Beberapa orang bertindak berlebihan dengan menarik tangan lawan dan secara keras mengayunkan ke atas ke bawah. Jabat tangan semacam ini sama dengan ”mulut besar’. Bersikaplah percaya diri, jangan membuat orang lain kesal.

4. Sadarlah akan keterbatasan phisik seseorang. Orang jompo, cacat, atau penderita arthitis mungkin memiliki tulang yang lemah dan keterbatasan gerak. Melukai seorang saat berjabatan tangan mungkin justru menutup pintu bukannya membuka pintu hubungan yang baik.

5. Ingatlah untuk menciptakan jabat tangan yang bermakna. Jika anda berjabatan tangan lalu dengan segera menarik tangan anda dan melanjutkan pembicaraan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, maka orang akan menganggapnya sebagai jabatan tangan yang tak berarti dan tidak tulus. Berikan pada lawan anda beberapa saat untuk menunjukan perhatian anda melalui kontak mata atau pembicaraan sebelum anda menarik tangan anda. Mereka akan merasa bahwa mereka sedang bertemu dengan orang yang layak.

Tips ini di ambil dari Deek McAleer, Dreamlife.

Hadiah 86.400

Hadiah 86.400

Dijaman Kali Yuga salah satu cirinya adalah uang merupakan salah satu komponen yang memainkan peranan penting. Mari kita lihat cerita sebuah keluarga dengan tiga orang anak menggunakan hadiah dari orang tuanya.
Di pagi hari yang sejuk Sang Bapak berkata ” Abira, Jovan, dan Geanta, bapak kasi uang Rp. 86.400,- kalian gunakan untuk hari ini dan kalau ada sisanya kembalikan ke bapak! ”.
Si Abira langsung pergi ke tempat mainan dan menghabiskan seluruh uangnya untuk kesenangan. Jovan menggunakan uang itu untuk membeli makanan dan buku sisanya tidak dikembalikan tapi dia habiskan untuk investasi dan amal (dana punia). Lain lagi dengan Geanta dia hanya diam malas di rumah sehingga tidak ada uang yang dia habiskan (gunakan).

Setelah malam tiba mereka kembali berkumpul dan Sang Bapak berkata ” Anak-anak bagaimana keadaanmu semua dan uangnya diapakan?”.
Abira langsung menjawab ” Saya lapar Pak.... tadi uangnya saya habiskan untuk main PS (Play Station)! ”.
“Saya baik Pak… uangnya sudah habis untuk beli makan, buku, investasi, kasi ibu pengemis (amal), dan beli pakaian sembahyang! “ sergah Jovan sambil menunjukan bukunya yang baru.
“ Kamu Geanta? “ kata Sang Bapak sambil mengelus pundaknya.
Dengan muka penuh penyesalan Geanta berujar “ Ya … Bapak, uangnya jangan dibalikin ya, aku males pergi mendingan tidur di rumah “.
Tetapi karena memang sesuai janji maka sisa uang harus dikembalikan ke Sang Bapak.

Nah dari cerita tadi apa yang bisa kita jadikan bahan renungan?.
Sang Bapak tersebut tiada lain adalah TUHAN yang memberikan kita WAKTU 86.400 detik agar dapat pergunakan dengan baik dalam satu hari ini.
Orang yang hanya menghabiskan waktunya untuk bermain mencari kesenangan akan menderita karena tidak ada waktu mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti Si Abira. Si Geanta adalah kiasan orang yang merugi karena tidak memanfaatkan waktu yang diberikan untuk mengisi hidupnya, sehingga mengalami penyesalan karena waktu yang telah dilewatkan begitu saja tidak dapat diputar kembali.
Si Jovanlah yang harus ditiru, manfaatkan waktu yang diberikan 86.400 detik untuk hari ini. Pergunakan sebagian waktumu untuk mencari makanan (uang) dengan bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, sebagian lagi pergunakan juga untuk mencari ilmu (pendidikan) dengan belajar, kemudian sebagian gunakan untuk istirahat (investasi kesehatan) karena tanpa istirahat maka tidak ada jaminan untuk hari depan yang baik (sehat)., kemudian pergunakanlah waktumu untuk kebahagian sesama (amal) baik waktu untuk keluarga, teman, dan lingkungan kita. Terakhir yang harus kita sisihkan (luangkan) adalah waktu untuk sembahyang sesuai dengan keyakinan kita.

Jam terus berdetak. Gunakan waktu anda sebaik-baiknya.
Agar tahu pentingnya waktu SETAHUN, tanyakan pada murid yang gagal kelas.
Agar tahu pentingnya waktu SEBULAN, tanyakan pada ibu yang melahirkan bayi prematur.
Agar tahu pentingnya waktu SEMINGGU, tanyakan pada editor majalah mingguan.
Agar tahu pentingnya waktu SEJAM, tanyakan pada kekasih yang menunggu untuk bertemu.
Agar tahu pentingnya waktu SEMENIT, tanyakan pada orang yang ketinggalan pesawat terbang.
Agar tahu pentingnya waktu SEDETIK, tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.

Jadi?
”Hargailah setiap waktu yang anda miliki. Dang ingatlah waktu tidaklah menunggu siapa-siapa”
By : Kadek Antara ( 23 Juli 2008 )

21/07/08

Futsal akhirnya pegel

Main Futsal di The Balls




Dr kanan : Hari S, Kt. Gde. Ari, Gejer, Jun, Sues, adik kelas sorry lupa namanya.


Pada Sabtu, 19 Juli 2008 Alumni KMHB diundang olah raga bersama dengan adik-adik KMHB. Acara diisi dengan main futsal di the ball futsal center yang terletak di Jl. Veteran, Rempoa.

Pertandingan dimulai jam 10.00 dan berakhir jam 12.00 siang ....

Wah .. abis itu 2 hari gak bisa jalan bener, kaki masih pegel dan pinggang waduuh sakitnya....(maklum udah tua kali ya ..).

Tapi yang penting pikiran senang dan bahagia.



18/07/08

Manusia Lahir Bersama Peluang

Manusia Lahir Bersama Peluang
Kutipan dari : Gede Prama

Di zaman yang penuh dengan gunungan kesulitan ini, teramat sering saya bertemu dengan wajah-wajah yang mengundang rasa kasihan. Dari penjual asuransi yang mau patah semangat, pekerja yang kehilangan pekerjaan, sampai dengan pengusaha yang jatuh bangkrut. Singkat kata, tidak sedikit manusia yang merasa peluang hidupnya sudah demikian sempit, untuk kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan memberikan peluang lebih besar kapada orang yang lebih beruntung.

Bagi saya pribadi, setiap manusia yang lahir sebenarnya sudah membawa peluang. Bedanya dengan argumen orang kebanyakan, peluang bukanlah sejenis keadaan yang berdiri di luar sana, dan menunggu untuk ditemukan. Peluang, lebih merupakan keadaan yang tercipta dari cara kita berespons terhadap kehidupan. Bagi mereka yang pesimis dan mudah sekali patah semangat, peluang akan jarang muncul. Bukan karena Tuhan pilih kasih, namun lebih karena cara berespons yang dibungkus terlalu banyak pesimisme. Demikian juga sebaliknya.

Segaris dengan keyakinan saya di atas, Bill Cosby (aktor terkemuka, produser dan penulis sejumlah buku) pernah menulis tentang hidup dan kehidupan dengan kalimat cantik : \’All you have is opportunity. It is a rich and beautiful gift\’. Satu-satunya hal yang kita bawa sejak lahir adalah peluang. Ia adalah hadiah yang kaya dan cantik.
Sekali lagi tampak, peluang sebenarnya tidak hanya hadir di mana-mana, ia kita bawa sejak lahir. Akan tetapi, pesimisme membuat mata dan rasa kita buta akan peluang. Sikap inilah yang harus dibenahi, sebelum kita betul-betul buta dengan peluang.

Coba temui orang-orang bawah yang hidup pas-pasan. Dari satpam, tukang ojek, supir taksi sampai dengan tukang bakso. Mereka semua matanya terbuka, bahwa setiap tanah yang kita injak sebenarnya mengandung peluang. Kemanapun mata memandang, ada peluang. Dengan sejumlah optimisme, apapun - sekali lagi apapun - bisa jadi peluang. Sampah menjadi kompos. Barang bekas ditunggu oleh perusahaan yang melakukan daur ulang. Baju kotor menghadirkan peluang dalam bentuk bisnis mencuci pakaian. Dan tidak terhitung jumlah peluang lainnya. Atau dalam bahasa Bill Cosby : work your own opportunity. Ciptakan, temukan dan kerjakan sendiri peluang-peluang Anda.

Saya pernah membaca dan bertemu dengan banyak sekali orang yang work their own opportunity. Rekan saya Fadel Muhammad ketika berangkat sekolah ke Bandung dari Indonesia Timur masuk dalam klasifikasi orang miskin, demikian juga setelah lulus dari ITB, dari segi kekayaan materi tidak ada apa-apanya. Namun, kendati modal materinya demikian terbatas, Fadel pernah menjulang dengan prestasi-prestasinya. Ketika mengajar di Aetna Life, saya pernah dibuat terkejut oleh prestasi seorang Ibu yang penampilannya tidak beda dengan Ibu rumah tangga biasa. Bonus akhir tahunnya bisa mencapai angka lebih dari satu milyard rupiah, kendati ekonomi lagi morat-marit.. Deretan nama yang menjulang sebagai pengusaha-pengusaha terkemuka, atau juga manajer jempolan, tidak sedikit yang lahir dari keluarga biasa - bahkan sebagian miskin, berpendidikan pas-pasan, dan tidak ada yang meramalkan sebelumnya kalau mereka akan menjadi pencipta-pencipta peluang, baik bagi dirinya maupun bagi jutaan pencari kerja lainnya. Singkat kata, yang paling penting bukan pendidikan, pengalaman maupun keturunan, namun bagaimana kita berespons terhadap keadaan. Ini yang menentukan, apakah kita akan buta terhadap peluang, atau bakal menemukan \’pelangi\’ peluang di mana-mana.
Belajar dari sini, perlu dicermati beberapa hal sebagai bahan perenungan. Pertama, berbeda dengan ilmu geografi di mana peta hanya bisa digambar setelah wilayahnya jelas, dalam memandang kehidupan berlaku kaidah sebaliknya : peta menentukan betuk wilayah. Artinya, peta yang ada di kepala kita akan menentukan bentuk wilayah yang kita lihat. Jika petanya takut, gagal, pesimis dan sejenis, maka \’wilayah\’ yang Anda lihat menjadi amat sempit dan penuh dengan bahaya. Sebaliknya, bila peta yang ada di kepala adalah spirit untuk senantiasa mencoba, yakin akan berhasil, dan sikap sejanis, maka \’wilayah\’ peluangnya besar dan lebar. Ini berarti, hati-hatilah dengan \’peta\’ yang ada di kepala kita. Setiap orang dewasa kepalanya dipenuhi dengan peta. Hanya saja, tanpa kewaspadaan yang memadai, mata, telinga dan indera kita akan diperdaya oleh peta terakhir.

Kedua, pengalaman, pendidikan, keturunan dan latar belakang sejenis, suka tidak suka, mau tidak mau, berpengaruh terhadap totalitas cara kita berespons. Sebelum kita dipenjara oleh semua latar belakang semacam ini, ada baiknya untuk menyelam dalam ke \’sumur\’ sang aku. Maksudnya, kenali diri sendiri secara amat mendalam. Bermodalkan hal terkahir, Anda kemudian menjadi tahu setiap peta di kepala. Dari asal muasalnya, seberapa menjebak dia, sampai apa yang harus dilakukan setiap kali Anda mau memproduksi peluang.

Ketiga, diri kita sebenarnya lebih mirip dengan karet yang lentur dibandingkan batu yang keras. Ini berarti, seberapa kuatpun belenggu warisan masa lalu, ia tetap bisa dirubah. Namun, sebagaimana karet, tarikan sekali yang terlalu keras bisa membuatnya putus. Dalam membuatnya berubah, kita mesti tekun, pelan, konsiseten.
Digabung menjadi satu, tubuh ini disamping sudah membawa peluang sejak lahir, sebenarnya ia juga bisa memproduksi peluang. Persoalannya, sudahkah Anda mencobanya dengan penuh ketekunan ?

15/07/08

Tokek .. Surga, Tokek ….. Neraka

Tokek .. Surga, Tokek ….. Neraka
by : Kadek Antara


“ Aeng gen … I Dogle nulis sorga ajak neraka! “ sergah Pan Gunung sambil menunjukkan tiga lembar kertas berisi tulisan tentang surga dan neraka.
(“ Sok Hebat .. I Dogle nulis sorga dan neraka!”)
“ Care be nawang kenken goban surga ajak nerake gen..! “ sahutnya lagi
(“Kayak sudah tau bagaimana wajah (keadaan) surga dan neraka”)

Mungkin kata-kata Pan Gunung tersebut membuat ciut kita kalo mau membicarakan surga dan neraka karena sejatinya memang kita belum merasakan bagaimana surga dan neraka di alam sana. Tetapi dari Dharmawacana Ratu Peranda Made Gunung tentang kematian kita bisa jadikan dasar untuk menumbuhkan keberanian menulis tentang surga atau neraka tersebut. Bukankah Ratu Peranda juga belum pernah seda (meninggal) tetapi beliau memberikan ceramah tentang kematian? Apakah kita harus mati dulu baru menulis surga atau neraka tersebut?

Tetapi sebelum lebih dalam saya tetap minta maaf dulu kepada para pembaca karena telah lancang berani menulis tentang tempat yang kita tuju setelah kita mati. Tulisan ini hanyalah buat bahan perenungan karena tempat yang kita tuju setelah kematian tersebut (surga atau neraka) kita sendiri yang menentukannya, bukan ditangan tokek sehingga tidak perlu kita menghitung tokek... surga, tokek ...neraka, tokek ... surga, dst. (capek ngitung kalo tokeknya ngoceh 2 hari 2 malem)

Salah satu kewajiban (swadharma) kita adalah bhakti terhadap orang tua dan leluhur. Orang tua disini mencakup bapak, ibu, orang yang dituakan, ataupun orang yag lebih tua. Di sini saya akan memberikan gambaran bhakti terhadap ibu dan bapak.

Didalam kitab Sarasamuccaya sloka 241 tersurat :
“ Ikang bhakti makawwitan, paritusta sang rawwitnya denya phalanya mangke dlaha, langgeng paleman ika ring hayu “

Artinya :
Bhakti kepada ibu bapa membuat senangnya para leluhur karenanya pahalanya baik sekarang maupun dikemudian hari, tetap mendapatkan pujian akan kebaikan itu.

Kemudian di sloka 250 tersurat :
“Kuneng phalaning kabhaktin ring wwang atuha, pat ikang wrddhi, pratyekanya, kirti, ayusa, bala, yaca; kirti ngaraning paleman ring hayu, ayusa ngaraning hurip, bala ngaraning kacaktin, yaca ngaraning pati tinggal rahayu, yatikawuwuh paripurna, phalaning khabaktin ring wwang atuha. “

Artinya :
Adapun pahala berbuat bhakti kepada orang tua, empat kepanjangan, masing-masing, KIRTI, AYUSA, BALA, dan YACA; Kirti artinya pujian tentang kebaikan, Ayusa artinya kehidupan, Bala artinya kekuatan, Yaca artinya nama baik yang ditinggalkan, kesemuanya itulah bertambah-tambah sempurna sebagai pahala bhakti terhadap orang tua.

Dari dua sloka diatas jelaslah bagi kita bahwa salah satu jalan menuju surga (baik sorga di kehidupan ini ataupun di alam setelah kematian nantinya) adalah dengan berbhakti kepada orang tua. Akan tetapi kita tentunya tidak melupakan berbuat kebajikan diluar hal tersebut.

Dari cerita Mahabharata kita juga dapat petik hikmah (buat pembelajaran) apa yang diperoleh oleh Yudhistira yang dalam kesehariannya selalu bertindak sesuai dharma. Setelah perang bharatayuda selesai dan Pandawa memimpin kerajaan dengan adil dan makmur selama beberapa tahun, akhirnya para Pandawa pergi ke hutan pegunungan Himalaya. Disanalah akhirnya mereka satu-persatu menghadap Batara Yama dan Yudhistira naik mencapai sorga dengan hanya ditemani seekor anjing. Anjing itu adalah perwujudan dari karma dari seluruh perbuatan kita selama didunia yang tidak dapat dikorupsi (ditambah/dikurang) selain yang sudah dicatat oleh Hyang Widhi Wasa.

Pahala baik yang patut kita contoh adalah dia selalu hormat dan bhakti kepada orang tuanya, kakeknya Bhisma yang menjadi pihak lawannya di Kurawa, Dia tetap bhakti dan melayani Raja Drestarata dan Dewi Gandari yang merupakan ayah dan ibu para Kurawa. Saat pengasingan di hutan Yudhistira diuji oleh Yaksa (golongan setengah dewa anak buah Kubera, Dewa Kesejahteraan) dengan cerita seperti ini : saat kelelahan Yudhistira menyuruh adiknya Sahadewa untuk mencari air dan ketemu sebuah danau. Kemudian ketika Sahadewa mau minum ada suara yang melarang tapi tidak dihiraukan sehingga dia mati. Karena lama tidak kembali maka Yudhistira menyuruh Nakula menyusul dan setelah melihat jasad adiknya dia sedih tetapi karena janjinya untuk membawa air maka Nakula juga minum air danau itu dulu, dan kembali ada suara yang melarang. Tetapi karena nafsu lahiriah Nakula mengabaikan suara tersebut sehingga dia mati juga. Karena lama Nakula dan Sahadewa juga belum kembali Yudhistira gelisah dan menyuruh Bima, dan karena Bima tak kembali Arjuna disuruh menyusulnya. Bima dan Arjuna juga mendengar suara yang mengingatkan untuk tidak minum air danau itu dulu, tetapi karena keangkuhan dan kesombongan mereka karena merasa kuat dan sakti mereka malah menantang suara tersebut, tetapi akhirnya mereka juga mati. Tinggallah Yudhistira dan Drupadi yang kemudian menyusul ke danau tersebut. Yudhistira melihat jasad ke empat adiknya menjadi sedih dan marah. Begitu dia mau minum air danau suara itu dalang lagi, Yudhistira akhirnya berhenti dan tidak jadi minum dia mencari sumber suara tersebut. Yudhistira masih bisa berpikir jernih walaupun sedang dalam kondisi sedih dan marah akibat kematian adiknya. Dia berpikir pastilah suara yang maha saksi ini yang bisa mengalahkan kesaktian adik-adiknya.

“Sebelum kamu minum air itu jawablah dulu pertanyaanku, kalau jawabanmu benar kamu boleh minum sepuasnya!” sergah suara tersebut.
Beberapa pertanyaan Yaksa adalah :

“ Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?”
Yudhistira menjawab : “ Seorang Ibu yang melahirkan dan yang membesarkan kita!”
“Apa yang lebih tinggi dari langit?” tanya Yaksa lagi.
Yudhistira berpikir sejenak kemudian menjawab “ Seorang Bapak !“
Yaksa bertanya lagi “ Apa itu kebahagiaan?”
” Kebahagian adalah buah dari perbuatan baik!” jawab Yudhistira tenang.
Yaksa kembali bertanya ” Siapa yang menemani manusia dalam kematian?”
Yudhistira kembali menjawab dengan tenang ” Dharma

Yaksa masih mengajukan beberapa pertanyaan yang semuanya dijawan Yudhistira dengan baik, sehingga diijinkan untuk minum air danau dan saudara/adiknya dihidupkan kembali.
Bahan renungannya adalah lakukan dharma kita (swadharma) dengan bhakti kepada orang tua (ibu/bapak) sehingga kita bisa bahagia dan pahalanya menemani kita setelah kematian guna menuju sorga.

Bagaimanakah kalo kita mengabaikan bhakti kepada orang tua?
Didalam Kitab Purana yaitu Bhagavata Purana VIII dan Visnu Purana II.6 disebutkan diantara 28 jenis neraka terdapat neraka khusus bagi orang-orang yang tidak berbhakti kepada orang tua yaitu disebut Kalasutra (Yamasutram). Nereka ini sangat panas dan mengerikan. Mereka yang menerima hukuman ini adalah mereka yang tidak respek (hormat/bhakti) kepada ibu, bapak, dan orang yang lebih tua. Mereka didorong dan dijatuhkan ke dalam neraka ini, mereka disiksa kepanasan dari waktu ke waktu.

Nah dari penjelasan diatas jadi terserah anda nanti setelah mati mau kemana surga atau neraka?

09/07/08

Foto Liburan

Liburan di isi renang dekat rumah

Liburan ke Dupan - Ancol







Liburan ke Danau KB Ragunan













07/07/08

Aget .... Sing Mati (Untung ...Tidak Mati)

“Aget ….. Sing Mati”
(Untung …… Tidak Mati)

Suatu hari sebuah keluarga besar (di Bali disebut Dadia) akan mengadakan kegiatan upacara keagamaan. Karena sebagian besar kaum mudanya merantau maka hari itu semua anggota dadia akan berkumpul.

“Pak Tut … I Wayan mulih sing?” Tanya Ibu Kadek Sri.
(Pak Tut …. I Wayan gak pulang?”)
Pak Ketut menjawab : “Ngorahan mulih di harine ane jani, tapi kayang jani konden teka!”
(”Bilangnya pulang hari ini, tapi sampai sekarang belum datang!”)

Tiba-tiba telp Pak Ketut berbunyi dan ternyata ada kabar dari pihak kepolisian bahwa I Wayan mengalami kecelakaan dan ada di rumah sakit. Maka gegerlah semua anggota dadia yang hadir dalam kegiatan keagamaan tersebut. Kemudian Pak Ketut dan beberapa anggota dadia yang lain menuju kerumah sakit untuk melihak keadaan I Wayan.

“Men kenken keadaane I Wayan Pak Tut?” sergah anggota dadia yang tetap melanjutkan kegiatan keagamaannya ketika melihat Pak Ketut sudah kembali dari rumah sakit.
(“Terus bagaimana keadaan I Wayan Pak Tut?”)
Pak Ketut mengambil air minum sebelum menjawab “Entud batis kanane bered, limane bered, ajak duwurne mejahit kerane bocor mantep di aspale!”
(“Dengkul kanannya lecet, tangannya lecet, dan kepalanya dijahit sebab bocor kebentur aspal!”)
Pak Ketut melanjutkan “Nah .. aget masi sing mati, karena pas labuh ada truck uli depan!”
(“Ya .. syukur gak mati, sebab waktu jatuh ada truck dari depan!”)

Kata terakhir dari Pak Ketut tersebut sering kita dengar di Bali dalam menyikapi suatu musibah atau penderitaan yang lain spt : “Aget sing kenken” (Untung gak apa-apa), “Aget sing mekejang kebakaran” (Syukur gak semua terbakar), “Aget ade be pasih” (Untung ada ikan laut), dan aget-aget yang lain. Penyikapan terhadap segala peristiwa seperti itu tidak hanya ada di Bali, di pulau Jawa atau di manapun ada hal semacam itu.

Dari sikap “Aget” tersebut mencermikan dua hal pokok yaitu :

a. Rasa Ihklas. Kita Ihklas menerima musibah atau penderitaan tsb. Sikap ihklas tersebut kita lakukan karena didasari oleh pengetahuan kita terhadap hukum karma. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang kita terima atau alami adalah buah dari karma (perbuatan) kita baik itu perbuatan selama hidup kita sekarang atau buah dari perbuatan kita pada kehidupan sebelumnya. Dengan ihklas menerima semua peristiwa yang kita alamai baik suka ataupun duka, maka hati (hidup) kita tetap bahagia dalam menjalani semua kejadian atau peristiwa hidup ini.

b. Rasa Syukur. Bersyukur atas kejadian di atas artinya adalah walaupun ditimpa duka (kecelakaan) tetapi kita bersyukur masih diberi keselamatan. Untuk rasa syukur di dalam kehidupan yang lain konsep ”Aget” juga berlaku. Dalam hidup pasti ada keinginan untuk lebih baik (baik dalam pangan, sandang, dan papan) tetapi karena keterbatasan kita maka tidak semua keinginan tersebut terpenuhi. Nah dengan konsep ”Aget” tersebut kita masih dapat bersyukur dengan apa yang kita miliki. Seperti kita ingin makan daging tapi karena keterbatasan uang kita hanya bisa beli ikan asin atau ikan laut, tentu kita berujar ” Aget masi ngidaang meli be pasih!”. Dengan bersyukur tersebut hati (hidup) kita akan selalu bahagia dalam berbagai keterbatasan kita. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita dimana kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia. Orang yang "kaya" bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki dengan rasa syukur.


Tapi ngomong-ngomong “AGET MASI BISA NULIS DIASTUN ABEDIK!”.
By Kadek Antara (07-07-2008)

03/07/08

KARYAWAN TAPI BAHAGIA

KIAT MENGELOLA GAJI ANDA
Kiat Nomor 1
“ BELI DAN MILIKI SEBANYAK MUNGKIN HARTA PRODUKTIF”

1. Tentukan Harta Produktif yang ingin Anda miliki.
2. Tulis pos-pos Harta Produktif yang Anda inginkan tersebut di kolom Harta Produktif.
3. Segera setelah mendapatkan gaji, prioritaskan untuk memiliki pos-pos Harta Produktif sebelum Anda membayar pengeluaran Anda yang lain. Kalau perlu, pelajari seluk-beluk masing-masing Harta Produktif tersebut.

Kiat Nomor 2
“ATUR PENGELUARAN ANDA”

1. Usahakan kalau perlu sedikit lebih keras pada diri Anda sendiri untuk tidak mengalami defisit karena defisit adalah sumber semua masalah besar yang mungkin muncul di masa mendatang.
2. Prioritaskan pembayaran cicilan utang, lalu premi asuransi, kemudian biaya hidup.
3. Pelajari tip mengeluarkan uang secara bijak untuk setiap pos pengeluaran.
Kiat Nomor 3
“HATI-HATI DENGAN UTANG”

1. Ketahui kapan sebaiknya berutang dan kapan tidak berutang.
2. Kuasai tip yang diperlukan bila Anda ingin mengambil utang atau membeli barang secara kredit.
3. Kuasai tip yang diperlukan bila pada saat ini Anda terlanjur memiliki utang.

Kiat Nomor 4
“SISIHKAN UNTUK POS-POS PENGELUARAN DI MASA YANG AKAN DATANG”

1. Ambil kertas dan tulis pos pengeluaran yang perlu Anda persiapkan untuk masa yang akan datang.
2. Untuk masing-masing pos pengeluaran, tulis alternatif yang akan Anda tempuh agar bisa mempersiapkan dananya.
3. Sisihkan gaji dan bonus-bonus Anda mulai dari sekarang untuk mempersiapkannya.

Kiat Nomor 5
“MILIKI PROTEKSI”

1. Miliki asuransi, entah asuransi jiwa, asuransi kesehatan, atau asuransi kerugian. Syukur kalau dari beberapa dari jenis jasa asuransi itu sudah dibayari oleh kantor. Kalau tidak, beli saja dengan biaya sendiri.
2. Miliki dana cadangan sebagai proteksi jangka pendek kalau Anda kehilangan penghasilan dan tidak mendapatkan uang pesangon, atau kalau uang pesangon Anda sangat kecil.
3. Miliki Sumber Penghasilan Lain di Luar Gaji yang kalau bisa didapat secara terus-menerus, sebagai proteksi jangka panjang dari gaji Anda yang sewaktu-waktu bisa saja terancam berhenti.

Bicara Baik atau Diam

BICARA BAIK ATAU DIAM
Gede Prama

Ada sejenis kecemburuan tersendiri kalau saya melihat seorang pelukis sedang melukis. Melalui kegiatan bercakap-cakap dengan diri sendiri, seorang pelukis kemudian mengungkapkan hasil percakapan tadi ke dalam sebuah lukisan. Sehingga bagi siapa saja yang cukup peka untuk memaknai karya seni, ia bisa menerka percakapan apa yang terjadi di balik banyak lukisan.
Agak berbeda dengan pelukis di mana lukisanlah salah satu hasil percakapannya dengan diri sendiri, kita manusia biasa memiliki juga hasil dari percakapan panjang kita bersama diri sendiri. Dan hasil yang paling representatif adalah badan yang kita bawa kemana-mana selama hidup. Atau kalau mau lebih dalam, jiwa adalah salah satu hasil lain dari percakapan jenis terakhir ini.

Dilihat dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup ini isinya serupa dengan kegiatan melukis. Bedanya dengan pelukis, kita sedang melukis diri kita sendiri. Mirip dengan pelukis, ada aspek yang disengaja ada juga aspek yang tidak disengaja. Dan percakapan adalah kuas, kertas, warna yang menjadi bahan-bahan kita dalam melukis. Dalam tingkat penyederhanaan tertentu, apapun yang kita percakapkan dengan diri sendiri akan memberikan warna terhadap lukisan (baca : wajah) kita sendiri.

Coba Anda perhatikan orang-orang yang suka sekali bicara negatif. Dari ngerumpi kejelekan orang lain, iri, dengki, menempatkan orang lain dalam posisi tidak pernah benar, sampai dengan suka berkelahi dengan banyak orang. Perhatikan badan dan sinar mukanya, bukankah berbeda sekali dengan orang lain yang percapakannya lebih banyak berisi hal-hal yang positif ?
Lebih dari sekadar memiliki wajah berbeda, orang yang isi percakapannya hanya dan hanya negatif, juga berhobi memproduksi penyakit yang akan dihadiahkan pada tubuhnya sendiri. Berbagai jenis penyakit siap menawarkan diri secara amat suka rela kepada orang-orang jenis ini. Dari penyakit fisik sampai dengan penyakit psikis. Di luar kesengajaan mereka, atau bersembunyi di balik ‘kesenangan’ sesaat, orang-orang seperti ini sedang memukul, menusuk dan bahkan menghancurkan badan dan jiwanya. Kalau kemudian lukisan kehidupannya berwajah hancur lebur, tentu bukan karena sengaja dihancurkan orang lain.

Dalam bingkai renungan seperti ini, layak dicermati kembali bagaimana persisnya kita bercakap-cakap dengan diri sendiri setiap harinya. Entah ketika di depan cermin, entah tatkala berhadapan dengan banyak perkara, entah di manapun kita selalu bercakap-cakap dengan diri sendiri. Tidak hanya sejak bangun pagi sampai tidur malam kita melakukan percakapan, bahkan ketika tidurpun kita bercakap-cakap dengan diri sendiri.
Kalau semuanya bisa digerakkan dari tataran kesadaran semata, semua orang hanya mau bercakap-cakap yang positif saja. Sayangnya, kekuatan di balik percakapan tidak saja berada di wilayah kesadaran. Ia juga berakar dalam pada wilayah-wilayah di luar kesadaran. Di sinilah letak tantangannya. Orang-orang yang terlalu lama memformat lukisannya dengan percakapan-percakapan negatif, tentu dihadang tantangan yang lebih besar. Demikian juga sebaliknya.
Akan tetapi, seberapa besarpun tantangannya, pilihan diserahkan ke kita, akankah kita membuat lukisan diri sendiri yang berwajah indah, atau bopeng mengerikan di sana-sini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, percakapan memang kendaraan yang amat menentukan dalam hal ini.

Seorang sahabat jernih pernah memberikan pedoman amat sederhana dalam hal ini : speak good, or be silent. Bicaralah hal-hal yang baik saja, kalau tidak bisa diamlah. Tampaknya terlalu sederhana, tetapi menangkap esensi yang paling esensi. Sekaligus memberikan kompas, ke arah mana perjalanan percakapan sebaiknya dilakukan.
Tertawa tentu saja boleh dan bahkan sehat. Namun tertawa dengan cara mentertawakan kekurang fisik orang lain tentu saja layak untuk dikurangi. Waspada dan hati-hati juga tidak salah, namun curiga apa lagi menuduh orang lain tanpa bukti mungkin perlu rem yang menentukan dalam hal ini. Demikian juga ketika melihat kekurangan orang lain, atau juga kekurangan diri sendiri. Serakah misalnya, kenapa tidak dibelokkan menjadi serakah belajar dan berusaha. Kebiasaan mumpung sebagai contoh lain, mumpung berkuasa kenapa tidak segera menjadi contoh dari hidup yang lurus dan bersih. Iri hati juga serupa, bisa saja energi-energi iri hati digunakan sebagai mesin pendorong kemajuan yang amat menentukan. Bentuk tubuh yang tidak menarik sebagai contoh lain, kenapa tidak digunakan sebagai cambuk untuk mengembangkan kecantikan dari dalam diri.

Dari serangkaian contoh ini, yang diperlukan sebenarnya kesediaan untuk senantiasa berdisiplin di dalam diri. Terutama disiplin untuk mendidik mulut dan pikiran, serta membelokkan setiap energi negatif ke tempat-tempat yang lebih produktif. Kalau ada yang menyebutnya susah, tentu saja tidak salah. Karena mirip dengan lukisan indah yang senantiasa dihasilkan pelukis dengan penuh perjuangan, demikian juga dengan lukisan kehidupan. Kita hanya perlu mengingat sebuah kalimat sederhana : bicaralah yang baik, atau diam sekalian. Dan atas rahmat Tuhan lukisan kehidupanpun mungkin berwajah lebih menarik. Setidaknya, itulah yang sedang saya percakapkan dengan sang diri ketika tulisan ini dibuat.