Tokek .. Surga, Tokek ….. Neraka
by : Kadek Antara
“ Aeng gen … I Dogle nulis sorga ajak neraka! “ sergah Pan Gunung sambil menunjukkan tiga lembar kertas berisi tulisan tentang surga dan neraka.
(“ Sok Hebat .. I Dogle nulis sorga dan neraka!”)
“ Care be nawang kenken goban surga ajak nerake gen..! “ sahutnya lagi
(“Kayak sudah tau bagaimana wajah (keadaan) surga dan neraka”)
Mungkin kata-kata Pan Gunung tersebut membuat ciut kita kalo mau membicarakan surga dan neraka karena sejatinya memang kita belum merasakan bagaimana surga dan neraka di alam sana. Tetapi dari Dharmawacana Ratu Peranda Made Gunung tentang kematian kita bisa jadikan dasar untuk menumbuhkan keberanian menulis tentang surga atau neraka tersebut. Bukankah Ratu Peranda juga belum pernah seda (meninggal) tetapi beliau memberikan ceramah tentang kematian? Apakah kita harus mati dulu baru menulis surga atau neraka tersebut?
Tetapi sebelum lebih dalam saya tetap minta maaf dulu kepada para pembaca karena telah lancang berani menulis tentang tempat yang kita tuju setelah kita mati. Tulisan ini hanyalah buat bahan perenungan karena tempat yang kita tuju setelah kematian tersebut (surga atau neraka) kita sendiri yang menentukannya, bukan ditangan tokek sehingga tidak perlu kita menghitung tokek... surga, tokek ...neraka, tokek ... surga, dst. (capek ngitung kalo tokeknya ngoceh 2 hari 2 malem)
Salah satu kewajiban (swadharma) kita adalah bhakti terhadap orang tua dan leluhur. Orang tua disini mencakup bapak, ibu, orang yang dituakan, ataupun orang yag lebih tua. Di sini saya akan memberikan gambaran bhakti terhadap ibu dan bapak.
Didalam kitab Sarasamuccaya sloka 241 tersurat :
“ Ikang bhakti makawwitan, paritusta sang rawwitnya denya phalanya mangke dlaha, langgeng paleman ika ring hayu “
Artinya :
Bhakti kepada ibu bapa membuat senangnya para leluhur karenanya pahalanya baik sekarang maupun dikemudian hari, tetap mendapatkan pujian akan kebaikan itu.
Kemudian di sloka 250 tersurat :
“Kuneng phalaning kabhaktin ring wwang atuha, pat ikang wrddhi, pratyekanya, kirti, ayusa, bala, yaca; kirti ngaraning paleman ring hayu, ayusa ngaraning hurip, bala ngaraning kacaktin, yaca ngaraning pati tinggal rahayu, yatikawuwuh paripurna, phalaning khabaktin ring wwang atuha. “
Artinya :
Adapun pahala berbuat bhakti kepada orang tua, empat kepanjangan, masing-masing, KIRTI, AYUSA, BALA, dan YACA; Kirti artinya pujian tentang kebaikan, Ayusa artinya kehidupan, Bala artinya kekuatan, Yaca artinya nama baik yang ditinggalkan, kesemuanya itulah bertambah-tambah sempurna sebagai pahala bhakti terhadap orang tua.
Dari dua sloka diatas jelaslah bagi kita bahwa salah satu jalan menuju surga (baik sorga di kehidupan ini ataupun di alam setelah kematian nantinya) adalah dengan berbhakti kepada orang tua. Akan tetapi kita tentunya tidak melupakan berbuat kebajikan diluar hal tersebut.
Dari cerita Mahabharata kita juga dapat petik hikmah (buat pembelajaran) apa yang diperoleh oleh Yudhistira yang dalam kesehariannya selalu bertindak sesuai dharma. Setelah perang bharatayuda selesai dan Pandawa memimpin kerajaan dengan adil dan makmur selama beberapa tahun, akhirnya para Pandawa pergi ke hutan pegunungan Himalaya. Disanalah akhirnya mereka satu-persatu menghadap Batara Yama dan Yudhistira naik mencapai sorga dengan hanya ditemani seekor anjing. Anjing itu adalah perwujudan dari karma dari seluruh perbuatan kita selama didunia yang tidak dapat dikorupsi (ditambah/dikurang) selain yang sudah dicatat oleh Hyang Widhi Wasa.
Pahala baik yang patut kita contoh adalah dia selalu hormat dan bhakti kepada orang tuanya, kakeknya Bhisma yang menjadi pihak lawannya di Kurawa, Dia tetap bhakti dan melayani Raja Drestarata dan Dewi Gandari yang merupakan ayah dan ibu para Kurawa. Saat pengasingan di hutan Yudhistira diuji oleh Yaksa (golongan setengah dewa anak buah Kubera, Dewa Kesejahteraan) dengan cerita seperti ini : saat kelelahan Yudhistira menyuruh adiknya Sahadewa untuk mencari air dan ketemu sebuah danau. Kemudian ketika Sahadewa mau minum ada suara yang melarang tapi tidak dihiraukan sehingga dia mati. Karena lama tidak kembali maka Yudhistira menyuruh Nakula menyusul dan setelah melihat jasad adiknya dia sedih tetapi karena janjinya untuk membawa air maka Nakula juga minum air danau itu dulu, dan kembali ada suara yang melarang. Tetapi karena nafsu lahiriah Nakula mengabaikan suara tersebut sehingga dia mati juga. Karena lama Nakula dan Sahadewa juga belum kembali Yudhistira gelisah dan menyuruh Bima, dan karena Bima tak kembali Arjuna disuruh menyusulnya. Bima dan Arjuna juga mendengar suara yang mengingatkan untuk tidak minum air danau itu dulu, tetapi karena keangkuhan dan kesombongan mereka karena merasa kuat dan sakti mereka malah menantang suara tersebut, tetapi akhirnya mereka juga mati. Tinggallah Yudhistira dan Drupadi yang kemudian menyusul ke danau tersebut. Yudhistira melihat jasad ke empat adiknya menjadi sedih dan marah. Begitu dia mau minum air danau suara itu dalang lagi, Yudhistira akhirnya berhenti dan tidak jadi minum dia mencari sumber suara tersebut. Yudhistira masih bisa berpikir jernih walaupun sedang dalam kondisi sedih dan marah akibat kematian adiknya. Dia berpikir pastilah suara yang maha saksi ini yang bisa mengalahkan kesaktian adik-adiknya.
“Sebelum kamu minum air itu jawablah dulu pertanyaanku, kalau jawabanmu benar kamu boleh minum sepuasnya!” sergah suara tersebut.
Beberapa pertanyaan Yaksa adalah :
“ Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?”
Yudhistira menjawab : “ Seorang Ibu yang melahirkan dan yang membesarkan kita!”
“Apa yang lebih tinggi dari langit?” tanya Yaksa lagi.
Yudhistira berpikir sejenak kemudian menjawab “ Seorang Bapak !“
Yaksa bertanya lagi “ Apa itu kebahagiaan?”
” Kebahagian adalah buah dari perbuatan baik!” jawab Yudhistira tenang.
Yaksa kembali bertanya ” Siapa yang menemani manusia dalam kematian?”
Yudhistira kembali menjawab dengan tenang ” Dharma ”
Yaksa masih mengajukan beberapa pertanyaan yang semuanya dijawan Yudhistira dengan baik, sehingga diijinkan untuk minum air danau dan saudara/adiknya dihidupkan kembali.
Bahan renungannya adalah lakukan dharma kita (swadharma) dengan bhakti kepada orang tua (ibu/bapak) sehingga kita bisa bahagia dan pahalanya menemani kita setelah kematian guna menuju sorga.
Bagaimanakah kalo kita mengabaikan bhakti kepada orang tua?
Didalam Kitab Purana yaitu Bhagavata Purana VIII dan Visnu Purana II.6 disebutkan diantara 28 jenis neraka terdapat neraka khusus bagi orang-orang yang tidak berbhakti kepada orang tua yaitu disebut Kalasutra (Yamasutram). Nereka ini sangat panas dan mengerikan. Mereka yang menerima hukuman ini adalah mereka yang tidak respek (hormat/bhakti) kepada ibu, bapak, dan orang yang lebih tua. Mereka didorong dan dijatuhkan ke dalam neraka ini, mereka disiksa kepanasan dari waktu ke waktu.
Nah dari penjelasan diatas jadi terserah anda nanti setelah mati mau kemana surga atau neraka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar