Manusia Lahir Bersama Peluang
Kutipan dari : Gede Prama
Di zaman yang penuh dengan gunungan kesulitan ini, teramat sering saya bertemu dengan wajah-wajah yang mengundang rasa kasihan. Dari penjual asuransi yang mau patah semangat, pekerja yang kehilangan pekerjaan, sampai dengan pengusaha yang jatuh bangkrut. Singkat kata, tidak sedikit manusia yang merasa peluang hidupnya sudah demikian sempit, untuk kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan memberikan peluang lebih besar kapada orang yang lebih beruntung.
Bagi saya pribadi, setiap manusia yang lahir sebenarnya sudah membawa peluang. Bedanya dengan argumen orang kebanyakan, peluang bukanlah sejenis keadaan yang berdiri di luar sana, dan menunggu untuk ditemukan. Peluang, lebih merupakan keadaan yang tercipta dari cara kita berespons terhadap kehidupan. Bagi mereka yang pesimis dan mudah sekali patah semangat, peluang akan jarang muncul. Bukan karena Tuhan pilih kasih, namun lebih karena cara berespons yang dibungkus terlalu banyak pesimisme. Demikian juga sebaliknya.
Segaris dengan keyakinan saya di atas, Bill Cosby (aktor terkemuka, produser dan penulis sejumlah buku) pernah menulis tentang hidup dan kehidupan dengan kalimat cantik : \’All you have is opportunity. It is a rich and beautiful gift\’. Satu-satunya hal yang kita bawa sejak lahir adalah peluang. Ia adalah hadiah yang kaya dan cantik.
Sekali lagi tampak, peluang sebenarnya tidak hanya hadir di mana-mana, ia kita bawa sejak lahir. Akan tetapi, pesimisme membuat mata dan rasa kita buta akan peluang. Sikap inilah yang harus dibenahi, sebelum kita betul-betul buta dengan peluang.
Coba temui orang-orang bawah yang hidup pas-pasan. Dari satpam, tukang ojek, supir taksi sampai dengan tukang bakso. Mereka semua matanya terbuka, bahwa setiap tanah yang kita injak sebenarnya mengandung peluang. Kemanapun mata memandang, ada peluang. Dengan sejumlah optimisme, apapun - sekali lagi apapun - bisa jadi peluang. Sampah menjadi kompos. Barang bekas ditunggu oleh perusahaan yang melakukan daur ulang. Baju kotor menghadirkan peluang dalam bentuk bisnis mencuci pakaian. Dan tidak terhitung jumlah peluang lainnya. Atau dalam bahasa Bill Cosby : work your own opportunity. Ciptakan, temukan dan kerjakan sendiri peluang-peluang Anda.
Saya pernah membaca dan bertemu dengan banyak sekali orang yang work their own opportunity. Rekan saya Fadel Muhammad ketika berangkat sekolah ke Bandung dari Indonesia Timur masuk dalam klasifikasi orang miskin, demikian juga setelah lulus dari ITB, dari segi kekayaan materi tidak ada apa-apanya. Namun, kendati modal materinya demikian terbatas, Fadel pernah menjulang dengan prestasi-prestasinya. Ketika mengajar di Aetna Life, saya pernah dibuat terkejut oleh prestasi seorang Ibu yang penampilannya tidak beda dengan Ibu rumah tangga biasa. Bonus akhir tahunnya bisa mencapai angka lebih dari satu milyard rupiah, kendati ekonomi lagi morat-marit.. Deretan nama yang menjulang sebagai pengusaha-pengusaha terkemuka, atau juga manajer jempolan, tidak sedikit yang lahir dari keluarga biasa - bahkan sebagian miskin, berpendidikan pas-pasan, dan tidak ada yang meramalkan sebelumnya kalau mereka akan menjadi pencipta-pencipta peluang, baik bagi dirinya maupun bagi jutaan pencari kerja lainnya. Singkat kata, yang paling penting bukan pendidikan, pengalaman maupun keturunan, namun bagaimana kita berespons terhadap keadaan. Ini yang menentukan, apakah kita akan buta terhadap peluang, atau bakal menemukan \’pelangi\’ peluang di mana-mana.
Belajar dari sini, perlu dicermati beberapa hal sebagai bahan perenungan. Pertama, berbeda dengan ilmu geografi di mana peta hanya bisa digambar setelah wilayahnya jelas, dalam memandang kehidupan berlaku kaidah sebaliknya : peta menentukan betuk wilayah. Artinya, peta yang ada di kepala kita akan menentukan bentuk wilayah yang kita lihat. Jika petanya takut, gagal, pesimis dan sejenis, maka \’wilayah\’ yang Anda lihat menjadi amat sempit dan penuh dengan bahaya. Sebaliknya, bila peta yang ada di kepala adalah spirit untuk senantiasa mencoba, yakin akan berhasil, dan sikap sejanis, maka \’wilayah\’ peluangnya besar dan lebar. Ini berarti, hati-hatilah dengan \’peta\’ yang ada di kepala kita. Setiap orang dewasa kepalanya dipenuhi dengan peta. Hanya saja, tanpa kewaspadaan yang memadai, mata, telinga dan indera kita akan diperdaya oleh peta terakhir.
Kedua, pengalaman, pendidikan, keturunan dan latar belakang sejenis, suka tidak suka, mau tidak mau, berpengaruh terhadap totalitas cara kita berespons. Sebelum kita dipenjara oleh semua latar belakang semacam ini, ada baiknya untuk menyelam dalam ke \’sumur\’ sang aku. Maksudnya, kenali diri sendiri secara amat mendalam. Bermodalkan hal terkahir, Anda kemudian menjadi tahu setiap peta di kepala. Dari asal muasalnya, seberapa menjebak dia, sampai apa yang harus dilakukan setiap kali Anda mau memproduksi peluang.
Ketiga, diri kita sebenarnya lebih mirip dengan karet yang lentur dibandingkan batu yang keras. Ini berarti, seberapa kuatpun belenggu warisan masa lalu, ia tetap bisa dirubah. Namun, sebagaimana karet, tarikan sekali yang terlalu keras bisa membuatnya putus. Dalam membuatnya berubah, kita mesti tekun, pelan, konsiseten.
Digabung menjadi satu, tubuh ini disamping sudah membawa peluang sejak lahir, sebenarnya ia juga bisa memproduksi peluang. Persoalannya, sudahkah Anda mencobanya dengan penuh ketekunan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar